INDOBALINEWS – Indonesia pernah melahirkan striker lokal berbahaya yang namanya harum di pentas sepak bola Asia.
Bahkan Indonesia punya legenda sepak bola yang diabadikan dalam buku perjalanan sepak bola Asia, Widodo Cahyono Putro. Berlaga pada turnamen Piala Asia 1996, Widodo Cahyono Putra mencetak gol melalui aksi akrobatik salto dalam kotak pinalti Kuwait.
Setelah era Widodo Cahyono Putra muncul generasi baru striker lokal Indonesia seperti Bambang Pamungkas Kurniawan Dwi Yulianto, Ilham Jaya Kesuma, Budi Sudarsono, Indriyanto Nugroho hingga Boas Solossa.
Kehadiran para striker berkelas itu tentunya berujung pada tenangnya pelatih Timnas Indonesia. Mau pilih yang gesit dan bisa menusuk atau tipe penyerang klasik yang tak perlu banyak peluang bisa cetak gol, semua ada.
Pada masa kejayaan para strikel lokal ini, Timnas Indonesia empat kali tampil di Piala Asia yaitu tahun 1996, 2000, 2004 dan 2007. Setelah masa kejayaan striker lokal berakhir, prestasi Timnas Indonesia pun merosot drastis, bahkan Timnas Indonesia tak bisa tampil pada Piala Asia 2011 dan Piala Asia 2015 (Piala Asia 2019 Indonesia mendapat sanksi FIFA).
Boas Solossa menjadi striker lokal terakhir yang mampu bersaing dengan striker impor yang didatangkan klub kasta tertinggi Indonesia. Tahun 2007 menjadi moment terbaik bagi Boas Solossa, sayang karena ditekel keras pemain Timnas Hongkong pada laga persabatan jelang Piala Asia, ia terpaksa menepi dari lapangan hampir satu penuh.
Baca Juga: Cek Segudang Prestasi Bernardo Tavares, Pelatih Baru PSM Makassar
Setelah generasi Boas Solossa, praktis tidak ada lagi striker Indonesia yang mampu bersaing di pentas Liga Indonesia yang bermuara pada makin menurunnya kualitas Timnas Indonesia.
Hal ini pun pernah disoroti pelatih Timnas Indonesia, Shin Tae Yong. Menurutnya kegemaran klub Liga 1 yang menggunakan servis pemain asing, membuat Indonesia tidak memiliki stiker lokal yang kualitasnya di atas rata-rata.