8 Rekomendari Soal Pencegahan Penyiksaan hasil Temuan KuPP di Wilayah Tengah

- 9 Oktober 2023, 09:02 WIB
Ilustrasi penyiksaan atau penganiayaan.
Ilustrasi penyiksaan atau penganiayaan. /superlux91/Pixabay

 

 

INDOBALINEWS - Dengar Keterangan Umum (DKU) wilayah Tengah terkait penyiksaan dan ill-treatment dalam kerangka Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, tidak Manusiawi atau Merendahkan Kemartabatan Manusia (CAT) dilaksanakan secara hybrid oleh Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP)  di Denpasar Bali pada 3-5 Oktober 2023. 

Dari 8 (delapan) kasus yang diperdengarkan, secara umum dugaan penyiksaan dan ill-treatment meninggalkan luka fisik, psikis, “hidup” yang hilang.

"Seperti yang dialami disabilitas mental maupun beban seumur hidup seperti harus menanggung anak hasil perlakuan buruk tersebut," ujar Anis Hidayah salah seorang dari 7 Komisioner Inkuiri DKU Wilayah Tengah dalam pernyataan resminya yang dikutip Senin 10 Oktober 2023.

Baca Juga: Jerat Mematikan Judi dan Pinjaman Online di Masyarakat Modern, Harus Ada Solusi!

Selain Anis, 6 komisioner lainnya adalah Andy Yentriyani (Komnas Perempuan), Rainy Hutabarat (Komnas Perempuan), Sylvana Apituley  (KPAI), J. Widijantoro (ORI),  Jemsly Hutabarat (ORI) dan Jonna Aman Damanik  (KND).

Dari keterangan yang diperoleh terdapat dampak fisik terhadap panca-indera berupa suara dengung dalam telinga maupun penglihatan yang memburuk, dan kesulitan buang air besar dan kecil. Sementara dampak psikis yang ditemukan antara lain, trauma berkepanjangan yang dialami seorang anak, dan trauma dan kecemasan orang tua terhadap kesehatan mental dan reproduksi anak  yang mengalami pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan (P2GP).

 Baca Juga: 'Kekerasan Seksual di Kampus Merupakan Permasalahan Besar dan Mendalam'

Di samping itu ditemukan penderitaan berkepanjangan termasuk hidup dalam ketakutan sebagai akibat berlarutnya penyelesaiaan perkara – yang kemudian membawa implikasi  pada terlanggarnya hak-hak dasar korban lainya. 

 Penyiksaan atau ill-treatment juga berdampak pada kehidupan sosial dan perekonomian dari korban beserta keluarganya. Terjadi siklus perlakuan buruk khususnya dalam kasus perlakuan buruk yang berakar pada adat. 

Baca Juga: Beta Gibran Bali Dideklarasi, Yakin Pemilih Milenial Kunci Kemenangan di Pemilu 2024

Normalisasi terhadap perlakuan buruk oleh masyarakat ikut melanggengkan penyiksaan dan perlakuan buruk tersebut. Dalam kasus perlakuan buruk berakar pada adat, pemahaman masyarakat tersebut juga menjadi hambatan untuk menghapuskannya.  DKU wilayah Tengah juga mencatat hambatan maupun permasalahan struktural yang dialami oleh korban dugaan penyiksaan atau ill-treatment, yang mencakup hambatan kelembagaan, hambatan tradisi budaya dan agama, problem regulasi, dan kemikinan.

DKU wilayah tengah merekomendasikan di antaranya:

Baca Juga: Transfer Pemain Liga 1: Barito Putera Dikabarkan Incar Gelandang Dewa United

  1. Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum (kepolisian, militer, lapas) dalam penafsiran, penerapan, dan penggunaan pasal-pasal berkaitan dengan narkotika, implementasi HAM dalam setiap aktivitas dalam menjalankan tugas;
  2. Mendorong penegakan hukum terhadap pelaku penyiksaan, yang pelaksanaannya diawasi, serta melakukan evaluasi berkala kondisi lapas di seluruh Indonesia;
  3. Pembuatan kebijakan pembinaan dan perlindungan hak-hak warga binaan sesuai dengan identitas gender di Rutan dan Lapas.
  4. Mendorong penguatan sosialisasi mengenai urgensi penghentian praktik P2GP dan melakukan pengawasan terhadap lembaga kesehatan untuk menghentikan praktik (P2GP) dan memberikan layanan psikologis terhadap anak dari pemulihan pasca penyunatan, termasuk pemulihan terhadap ibu/korban P2GP
  5. Mendorong adanya kebijakan dan langkah terukur untuk memastikan penghapusan praktik penghambaan, termasuk memastikan akses pendidikan dan pengembangan kemandirian ekonomi bagi warga yang rentang eksploitasi dan kekerasan;
  6. Mendorong peningkatan kapasitas APH untuk penanganan kasus kekerasan seksual yang berperspektif korban;
  7. Kerjasama berbagai pihak terkait dalam melakukan pencegahan dan penanganan TPPO;
  8. Membangun perspektif inklusi (turunan prinsip Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas) dalam melakukan pengobatan dan pemulihan terhadap ODGJ

Baca Juga: Kasus Anak Anggota DPR Aniaya Pacar Hingga Tewas, 'Kronologi Kekerasan Ronald Tannur Bengis dan Bereskalasi

Kasus-kasus yang diperdengarkan meliputi daerah Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat. DKU wilayah Tengah ini menghadirkan korban, saksi, korban, pendamping korban, penanggap ahli, aparat penegak hukum dan dinas-dinas pemerintahan daerah terkait.

Delapan kasus penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi serta semena-mena termasuk berbasis gender, anak, dan disabilitas di antaranya kasus pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan (P2GP).

Baca Juga: Hari Batik Nasional, Shopee Dukung Penuh Produsen Batik Lokal Ekspor Produk ke Pasar Global

Juga kematian pekerja migran dengan indikasi adanya penyiksaan dan organ tubuh hilang, perhambaan, pengabaian dan pemasungan terhadap penyandang disabilitas psikososial, penyiksaan dan hukuman mati pelaku pencabulan, penjebakan dan perlakuan tak manusiawi terhadap transpuan dengan narkoba, penundaan berlarut (delayed in justice),  dan extra judicial killing.

Berdasarkan keterangan dan tanggapan atas delapan kasus yang diperdengarkan dari para pihak, diperoleh temuan: (1) dugaan penyiksaan dan dugaan ill-treatmentperbuatan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia pada 6 (enam) kasus lainnya, yang terjadi selama proses hukum berlangsung (penangkapan dan penahanan) maupun karena faktor agama dan tradisi budaya; 

Baca Juga: Disurvei Capres Selalu Posisi Terbawah, Malah Jadi Semangat Cak Imin untuk Kerja Keras

(2) para pelaku adalah kepolisian, sipir lapas, aktor negara dari lembaga-lembaga negara lainnya, juga diduga pelaku adalah keluarga, majikan, dan sesama tahanan dengan diketahui petugas lapas;

 3) Tindakan-tindakan penyiksaan dan ill treatment terjadi bukan saja di institusi milik negara, tetapi juga di rumah yang mengkerangkeng penyandang disabilitas mental (pemasungan dalam bentuk lain) dengan menggunakan dana desa dan diketahui oleh dinas-dinas terkait; 4) para korban terentang mulai dari tahanan termasuk  transpuan, hamba, anak perempuan di antaranya balita, penyandang disabilitas, dan perempuan pekerja migran. ***

 

Editor: Shira Ade


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah