Seniman Melati Suryodarmo Bicara tentang Perlunya Keberlanjutan Kebudayaan dan Daya Kritis

- 25 Juli 2022, 11:53 WIB
Seniman seni rupa pertunjukan Melati Suryodarmo.
Seniman seni rupa pertunjukan Melati Suryodarmo. /Indobalinews/Ema S.

INDOBALINEWS - Seniman seni rupa pertunjukan Melati Suryodarmo mengingatkan perlunya berpikir keras untuk keberlanjutan kebudayaan dengan memopulerkan kebudayaan.

Ia juga berharap para seniman muda membangun kebiasaan proses berkarya melalui diskusi, berbagi pengalaman, dan memerhatikan kritik untuk pengembangan ide maupun gagasan.

Melati menyampaikan hal tersebut di sela-sela pentas pamungkas 18 koreografer muda dari seluruh Indonedia peserta Temu Seni Tari di Ubud, Bali 18-24 Juli 2022.

Baca Juga: Lelang Barang Koleksi, Sabuk Juara Muhammad Ali Laku Rp92,5 Miliar

Menurut Melati Temu Seni yang diinisiasi Direktorat Perfilman, Musik, dan Media; Dirjen Kebudayaan; Kemendikbudristek ini sebagai ajang silaturahmi, apresiasi, dan jejaring seni sekaligus memperkenalkan dan menambah gaung Indonesia Bertutur 2022 yang akan yang digelar menjadi bagian dari Pertemuan Menteri-Menteri Kebudayaan G20 (G20 Ministerial Meeting on Culture) di Kawasan Borobudur, Magelang, September mendatang.

Ia menyebut Temu Seni Tari ini merupakan awal dari proses baru tentang pengembangan ide, gagasan, dan garapan yang akan dibawa para koreografer ini ke daerahnya masing-masing.

“Ajang ini memberikan wadah untuk eksplorasi lebih lanjut dan semoga para peserta mengadaptasi laboratorium seni seperti ini setelah kembali ke daerah dan termotivasi membangun jejaring serta menghidupkan ekosistem seni yang berkelanjutan,” katanya di Pura Samuan Tiga Bedulu, Gianyar, Sabtu 23 Juli 2022.

Melati yang juga Direktur Artistik Indonesia Bertutur 2002 ini akan terus mendorong inisiatif para koreaografer di berbagi daerah untuk diskusi, berbagi metode, pengalaman, dan bertukar pemikiran untuk membangun ekosistem berkelanjutan tersebut.

Baca Juga: Autopsi Ulang Alm Brigadir Yosua, Kapolda Jambi Pastikan Telah Siap

Dia menyebut pemikiran sebagai salah satu strategi penciptaan itu sangat penting dan memerlukan kesadaran seniman untuk mengajak partisipasi publik luas di sekitar tempat tinggal untuk menggapainya.

Kata dia Indonesia memiliki potensi tari yang begitu besar, tetapi selalu berorientasi ke pusat atau Jakarta. Oleh karena itu perlu menumbuhkannya di daerah-daerah yang telah memiliki akar kuat tradisinya.

“Berkarya itu yang terpenting untuk masyarakat terdekat di sekitarnya. Memang kemudian bertumbuh tradisi, kreasi baru, eksperimental, konseptual, kontemporer apapun sebutannya, nggak masalaah asalkan nggak ada yang merasa lebih rendah atau lebih tinggi dari yang lain,” tuturnya.

Melati yang telah membawakan karya keliling dunia ini mengatakan tari bukan hanya untuk kualitas panggung, tapi juga seberapa besar dia memberi asupan kejiwaan.

Baca Juga: Kasus Positif Covid 19 di Kota Denpasar Melejit Jadi 45 Orang

Selama ini kita terkooptasi pemahaman tari itu cuma di atas panggung: cantik, menarik, dan menghibur. Padahal tradisi kita sangat kaya dengan proses panjang dan beragam. Di Bali mislanya, tari juga menjadi laku ibadah atau persembahan saat upacara keagamaan di pura.

“Seni juga merupakan proses ekspresi mengagungkan Sang Pencipta. Ini juga merupakan fungsi tari yang bukan sekadar estetik dan artistik tapi juga untuk kejiwaan masyarakat,” urainya.

Oleha karenanya Melati juga mengingakan agar kesenian tidak dikotak-kotakkan yang justru memisahkannya dari ekosistem sosial dan kebudyaaan.

Ia mencontohkan pengakuan peserta dari Papua, Priccilia E.M Rumbiak, yang menyebut Temu Seni Tari ini sangat bermakna dan memberikan cakrawala serta pengetahuan baru. Tradisi tari di Papua bukan hanya olah tubuh tetapi juga ‘tubuh yang bersuara’ yakni memadukan tari dan nyanyi yang kini diperkaya dengan menarasikan pesan dari situs-situs budaya yang ada.

Baca Juga: 'Ekonomi Kreatif Digital Dapat Menjadi Solusi Percepat Pemulihan Ekonomi Bali'

“Saya sangat optimistis dengan masa depan tari di Indonesia. Banyak yang bisa digali dari tradisi yang ada, juga situs cagar budaya untuk memantik gagasan dan inspirasi seperti tema mengalami masa lampau, menumbuhkan masa depan dalam kegiatan kali ini,” tutur melati.

Ia menekankan perlunya proses penciptaan dan arus pemikiran yang biasa diabaikan dan justru membicarakan karya jadinya. Makanya dia menolak jika diajak membuat festival tanpa mengedepankan proses dan diskursus tadi.

Komponen seperti itu ditekankan Melati karena jarang setelah pentas ada dialog atau diskusi dengan kreatornya, mungkin juga bagian-bagian lain yang kini menjadi profesi dalam sebuah pertunjukan. Misalnya, tata kostum, tata panggung, tata rias, tata lampu, tata suara dan disliplin yang menyertainya seperti penulis, kritikus, dan seterusnya.

Pada bagian akhir melati mengungkapkan seni tari yang memiliki kekuatan komunikasi dan representasi dari kondisi masyarakat di sekitarnya, sudah selayaknya banyak pesan yang disampaikan seperti kesetaraan jender, kebebasan berekspresi, menghargai indigenous, tradisi daerah terpencil dan isu-isu yang mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan.

Kendati ia yakin dengan masa depan tari di Indonesia, tetapi hal tersebut harus tetap diiringi dengan menumbuhkan daya kritis para kreator maupun dari khalayak pemirsa.***

Editor: M. Jagaddhita


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah