Memahami Pentingnya Prioritaskan Konservasi Ekosistem Karbon Biru Mangrove dan Padang Lamun

- 8 Agustus 2022, 18:44 WIB
Panitia penyelenggara dan nara sumber dalam Seminar 'Blue Carbon: Enabling Conservation and Financial Capital' di Bali Nusa Dua Convention Centre (BNDCC) Senin 8 Agustus 2022.
Panitia penyelenggara dan nara sumber dalam Seminar 'Blue Carbon: Enabling Conservation and Financial Capital' di Bali Nusa Dua Convention Centre (BNDCC) Senin 8 Agustus 2022. /Shira Indobalinews


INDOBALINEWS - Blue Carbon atau Karbon Biru adalah istilah yang digunakan untuk cadangan emisi karbon yang diserap, disimpan dan dilepaskan oleh ekosistem pesisir dan laut.

Istilah karbon biru atau blue carbon dilatarbelakangi oleh keadaan karbon yang terserap dan tersimpan di bawah air dan berhubungan dengan perairan.

Ekosistem blue carbon yang terdapat di daerah pesisir sangatlah penting, karena dalam jangka panjang penyerapan dan penyimpanan karbon yang baik dan terjaga akan membantu dalam mengurangi dampak perubahan iklim.

Baca Juga: Teka Teki Kematian Brigadir Yosua: 'Pencopotan CCTV Bisa Dipidana'

J. Rizal Primana, Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas mengatakan sudah saatnya ekosistem Karbon Biru (Blue Carbon) menjadi prioritas utama dalam perencanaan tata kelola ruang dan konservasi pesisir di Indonesia maupun global.

Dijelaskannya, apalagi mangrove dan padang lamun dapat menyerap dan menyimpan karbon alami (carbon sink) yang sangat besar dalam waktu yang sangat lama, bahkan lebih banyak dari hutan terestrial.

Baca Juga: Kasus Tewasnya Brigadir J, Ajudan Istri Ferdy Sambo Jadi Tersangka Pembunuhan Berencana

“Kami yakin jika ekosistem Karbon Biru Indonesia di tata dan di kelola dengan baik secara strategis untuk adaptasi dan mitigasi menuju ketahanan iklim, kita pasti bisa berkontribusi lebih banyak dalam penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% secara nasional, dan 41% secara global hingga tahun 2030," ujar Rizal saat menjadi pembicara kunci bersama Jiro Tominaga, Country Director Asian Development Bank (ADB) untuk Indonesia, dalam Seminar, “Blue Carbon: Enabling Conservation and Financial Capital” di Bali Nusa Dua Convention Centre (BNDCC) Senin 8 Agustus 2022.

Lebih lanjut dikatakannya kita harus berpacu juga untuk menjaga dan merehabilitasi ekosistem Karbon Biru kita yang semakin terdegradasi.

Sebagai catatan, luas padang lamun di Indonesia termasuk terluas di dunia hingga 293.465-875.957 Ha, dan mampu menyerap karbon hingga 119,5 ton karbon per hektar.

Baca Juga: Money Changer Bodong di Kuta Bali Ditertibkan

Begitu pun dengan mangrove Indonesia yang seluas 3,3 juta Ha adalah terbesar di dunia, dan mampu menyimpan karbon sebanyak 950 ton karbon per hektarnya.

Namun luas padang lamun di Indonesia, menurut hasil kajian Pusat Riset Oseanografi Indonesia dalam Buku Status Ekosistem Lamun di Indonesia tahun 2021 disebutkan ekosistem ini mengalami penurunan sebesar 2,8% per tahun atau sekitar 0,4 ha per tahun pada periode 2015-2021.

Sementara mangrove Indonesia, dalam data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2020) menyebutkan kurang lebih seluas 637.824,31 Ha (19,28%) berada pada kondisi kritis.

Baca Juga: Ubud Village Jazz Festival Hadirkan Musisi Lokal dan Internasional, Digelar 12 hingga 13 Agustus 2022

“Ke depan, kita ingin memastikan ekosistem Karbon Biru bisa masuk NDC (Nationally Determined Contribution). Tentu saja harus melalui perencanaan pembangunan Karbon Biru yang berkelanjutan, dan harus didukung komitmen semua pihak. Untuk mencapai ini diperlukan suatu kerangka kerja yang dapat mengakomodasi semua pihak,” jelasnya.

Dalam seminar ini juga, Deputy Country Director Agence Francaise De Developpement (AFD) untuk Indonesia, Sophia Chappellet menyampaikan bahwa AFD mendukung upaya pemerintah Indonesia dalam pengelolaan ekosistem karbon biru, salah satunya melalui kegiatan pengintegrasian ekosistem karbon biru kedalam kebijakan keanekaragaman hayati dan iklim Indonesia.

Baca Juga: 1.900 Peserta dari 30 Negara Ramaikan Marathon Road Bike GFNY di Gianyar Bali

Sementara Sri Yanti, Direktur Kelautan dan Perikanan, Kementerian Bappenas, menambahkan pembangunan Karbon Biru Berkelanjutan harus mengedepankan upaya perlindungan dan kelestariannya dengan berbasis masyarakat.

Guna mendukung upaya tersebut diperlukan mekanisme pembiayaan sehingga dapat berkontribusi terhadap pencapaian target NDC.

“Saat ini ada beberapa opsi pembiayaan untuk kegiatan yang berkaitan dengankarbon biru selain dari APBN. Itu bagus, karena mengandalkan APBN saja tidak akan cukup untuk mencapai target NDC ini," beber Sri Yanti.

Baca Juga: Pariwisata Mulai Bangkit, Canna Bali Tawarkan Alternatif 'Escape from Reality'

Ditambahkannya, ke depan kita ingin juga bisa diintegrasikan dengan framework yang akan disusun, dan memastikan pembiayaan untuk keberlanjutan pembangunan Karbon Biru ini.

"Apalagi kita punya potensi karbon biru yang besar sebagai potensi sumber modal yang baik. Karena itu kita perlu juga mendengar pengalaman-pengalaman negara lain yang telah menjalankan dan sukses dalam pembangunan Karbon Biru mereka,” tandasnya. ***

Editor: Shira Ade


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah