Bocah di Kaltim Jadi Korban Pencabulan, Ipung Heran Pelaku Belum Tersentuh Hukum

- 18 Oktober 2021, 19:54 WIB
Siti Sapura (Ipung), Advokat Kuasa Hukum korban sekaligus Aktivis Anak dan Perempuan.
Siti Sapura (Ipung), Advokat Kuasa Hukum korban sekaligus Aktivis Anak dan Perempuan. /Dok Ipung

INDOBALINEWS - Bocah berinsial MC di Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim) mengalami peristiwa pencabulan yang dilakukan kakek tirinya.

Kasus ini seolah tanpa kepastian hukum padahal kejadian tersebut berlangsung cukup lama.

"Peristiwanya sudah dari 1 tahun 3 bulan, tapi terduga pelaku yang harusnya ditahan nyatanya masih bebas berkeliaran menghirup udara bebas," kata Advokat Kuasa Hukum korban yang juga aktivis anak dan perempuan, Siti Sapura, Senin 18 Oktober 2021 di Denpasar.

Baca Juga: Terjatuh di Gunung Catur Pura Puncak Mangu, Seorang Pendaki Dievakuasi

Aktivis anak dan perempuan ini menerangkan, ibu korban yang marah atas kasus yang menimpa anaknya kemudian menghubungi dirinya, menangis minta bantuan agar anaknya mendapat kepastian hukum.

"Ia mengaku gerah melihat pelaku tetap bebas, meski telah melakukan kesalahan besar," ucap wanita yang akrab disapa Mbak Ipung ini.

Setelah mendapat telepon dari ibu korban, ia mempelajari berkas perkara kasus pencabulan yang sudah berproses di Polda Kaltim tersebut.

Baca Juga: Libas China 3:0, IndonesiaJuara Thomas Cup 2020

"Awalnya tak ada masalah pada informasi itu, sampai akhirnya pada sebuah penjelasan terdapat pernyataan yang menyebut kasus ini minim bukti," tutur Ipung. Yang cukup mencengangkan, korban dituduh oleh terduga pelaku bahwa korban memiliki kelainan mental karena dianggap mengarang cerita.

Dalam surat pengaduan masyarakat yang dibuat pada 5 Oktober 2021 yang dilengkapi 11 dengan lampiran lengkap soal kasus ini, Ipung pun menuliskan jawaban dari beberapa keraguan yang membuat kasus ini mandek.

Baca Juga: Tak Terima Disebut Terafiliasi Teroris, Peradah Indonesia Resmi Proses Hukum Dosen Gayatri

Di antaranya membantah kondisi kesehatan mental korban hingga permintaan bukti tambahan yang disebutkan adalah saksi mata dalam kejadian ini, yang tentunya tak diperlukan.

"Dalam kejadian ini, korban dalam kondisi normal bahkan bisa dengan jelas menceritakan kronologis kejadian. Diperkuat dengan bukti yang sudah ada. Sementara untuk permintaan saksi yang melihat kejadian, kan tidak mungkin," tutur dia.

Baca Juga: Kompak Edarkan Sabu, Pasutri Asal Jakarta Ditangkap Polisi di Bali

Alasannya kata Ipung, jika mengacu pada bukti-bukti yang sudah ada, hasil visum yang menunjukkan adanya robekan pada selaput dara dan keterangan saksi korban sudah menjadi dasar kuat untuk menetapkan tersangka dan melanjutkan proses hukum.

Tetap pada lampiran pengaduannya, Ipung mengingatkan hukuman sebenarnya yang pantas diterima oleh pelaku pencabulan sesuai UU adalah ancaman pidana minimal 10 tahun dan maksimal 20 tahun penjara.

Bahkan sampai hukuman mati atau seumur hidup dan ada ancaman pemberatan lainnya seperti kebiri kimia, pemasangan chip dalam tubuh, jika pelaku tidak dihukum mati atau seumur hidup.

Baca Juga: Karangasem Bali Diguncang Gempa, 3 Meninggal Dunia

"Jadi tidak ada alasan pembenar bagi aparat penegak hukum yang menangani kasus ini menyebut minim bukti, apalagi meminta adanya bukti tambahan saksi yang melihat," terangnya.

Terbaru lanjutnya, barang bukti lainnya berupa kain seprai yang ditemukan bercak sperma milik pelaku hasil pemeriksaan laboratorium di Surabaya telah mengeluarkan hasilnya.

Dari sini pula, Ipung mengingatkan jika tak ada lagi alasan kasus ini tak bisa diselesaikan. Kasus ini juga sebelumnya sudah masuk dalam pra-rekonstruksi menuju rekonstruksi.

Baca Juga: Sosialisasi Peralihan ke TV Digital di Bali lewat Pertunjukan Virtual Kesenian Rakyat

Hanya saja karena rekonstruksi mendapat penolakan dari ibu korban karena ia dilarang mendampingi korban yang ingin menghadirkan pelaku bersama korban, proses ini akhirnya dihentikan sementara.

"Saya menyayangkan tindakan penyidik di sini yang ingin melakukan rekonstruksi antara korban dan pelaku yang seharusnya tidak diperlukan. Jika pun ingin melakukan rekonstruksi harus menggunakan peran pengganti sebagai korban," pungkas Ipung. ***

Editor: Shira Ade


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x