Jaksa Penuntut Umum Ajukan PK, Terpidana Ajukan Judicial Review UU Kejaksaan RI Lewat Tim Kuasa Hukum

10 Februari 2023, 08:39 WIB
Singgih Tomi Gumilang S.H, M.H., kuasa hukum Hartono S.H. /Dok Singgih

 

INDOBALINEWS - Hartono S.H., seorang notaris di Badung, Bali memutuskan mengajukan Judicial Review (JR) Undang-Undang Kejaksaan RI ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Singgih Tomi Gumilang S.H, M.H., kuasa hukum Hartono S.H. mengatakan pengajuan JR UU Kejaksaan RI telah dilakukan pada Rabu 8 Februari 2023 kemarin.

“Berkas permohonan lengkap diterima Ibu Nurul Quraini dengan tanda terima nomor: 15-1/PUU/PAN.MK/AP3,” ujar Singgih Tomi Gumilang kepada awak media Kamis 9 Februari 2023.

Baca Juga: Bali Tuan Rumah Pertemuan ASEAN Pertama di Jalur Keuangan: Jadi Momentum Pamerkan Keunggulan Indonesia

Lebih lanjut menurut Singgih, upaya JR UU Kejaksaan RI dilakukan setelah JPU Gianyar mengajukan PK pada 26 Desember 2022 dengan surat pengantar nomor: TAR-3385/N.1.15/Eku.2/12/2022 yang ditandatangani oleh Kajari Gianyar.

“Oleh karena itu, klien kami memohon hakim MK untuk menguji Pasal 30C Huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h Undang-Undang Kejaksaan RI,” katanya.

Baca Juga: Kisah Pilu Ayah WNI Asal Bali Korban Gempa Turki: Kehilangan Putri Tercinta hingga Belum Ketemu Cucu

Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h Undang-Undang Kejaksaan RI menyuratkan tugas dan wewenang Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk mengajukan Penunjauan Kembali (PK).

Aturan tersebut dijadikan dasar hukum oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Gianyar untuk mengajukan Peninjauan Kembali pada tanggal 26 Desember 2022 atas perkara kliennya.

Padahal, upaya hukum luar biasa PK dilandasi filosofi pengembalian hak dan keadilan seseorang yang meyakini dirinya mendapat perlakuan yang tidak berkeadilan yang dilakukan oleh Negara berdasarkan putusan hakim.

Baca Juga: Olahraga Bola Tangan Makin Diminati Pelajar, Pengrov ABTI Bali Semangat Sosiaisasi

Oleh karena itu, hukum positif yang berlaku di Indonesia memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan upaya hukum luar biasa yang dinamakan PK.

Dengan kata lain, lembaga Peninjauan Kembali ditujukan untuk kepentingan terpidana untuk melakukan upaya hukum luar biasa, bukan kepentingan Negara maupun korban.

“Sebagai upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh terpidana, maka subjek yang berhak mengajukan permohonan Peninjauan Kembali hanya terpidana ataupun ahli warisnya, sedangkan objek dari pengajuan permohonan Peninjauan Kembali adalah putusan yang menyatakan perbuatan yang didakwakan dinyatakan terbukti dan dijatuhi pidana,” ucapnya.

Baca Juga: WNA Australia Buronan Interpol Red Notice Ditangkap di Bali

Oleh karena itu, sebagai sebuah konsep upaya hukum bagi kepentingan terpidana yang merasa tidak puas terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidaklah termasuk ke dalam objek pengajuan permohonan PK.

Pasalnya, putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum pastilah menguntungkan terpidana.

“Oleh karena itu, dalam permohonan provisi Pemohon memohon: pertama, agar Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memberikan putusan yang amarnya menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan provisi. Kedua, memohon kepada MK untuk menjadikan pemeriksaan perkara a quo sebagai prioritas agar diputus segera.

Baca Juga: PSM Makassar Waspadai Kebangkitan Barito Putera Usai Taklukkan Bali United

Pasalnya, materi yang diajukan dalam perkara a quo berkaitan langsung dengan adanya proses permohonan JPU pada Kejari Gianyar yang mengajukan PK pada 26 Desember 2022 lalu.

Ketiga, memohon MK meminta Mahkamah Agung Republik Indonesia menolak atau setidak-tidaknya menangguhkan pemeriksaan permohonan JPU Kejari Gianyar yang mengajukan PK.

Baca Juga: Ini Beberapa Rekomendasi Hadiah Hari Valentine Berdasarkan Bulan Lahir

Lalu pada pokok perkara, Pemohon JR memohon MK untuk: pertama, mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU kejaksaan RI bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat. Ketiga, menyatakan Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Keempat, memerintahkan pemuatan putusan dalam BNRI sebagaimana mestinya.

Baca Juga: Viral Video Spiderman 'Invasi' Puncak Perayaan Harlah 1 Abad NU

“Bilamana Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya,” papar Singgih Tomi Gumilang. ***

 

Editor: Shira Ade

Tags

Terkini

Terpopuler