Pelaku Kuliner Non Halal tak Perlu Khawatir soal Sertifikasi Halal UMKM, Begini Kata Kemenag Bali

- 3 Februari 2024, 15:05 WIB
PKL dan UMKM wajib memiliki sertifikat halal paling lambat 17 Oktober 2024
PKL dan UMKM wajib memiliki sertifikat halal paling lambat 17 Oktober 2024 /halal Indonesia/Instagram

INDOBALINEWS - Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama mewajibkan tiga kelompok produk untuk mendapat sertifikat halal sebelum 17 Oktober 2024, termasuk produk makanan dan minuman.

Tak terkecuali produk makanan dan minuman untuk konsumen non muslim yang dijual secara terbatas di wilayah-wilayah tertentu semisal Maluku, Papua, Sumatera Utara hingga Sulawesi Utara, pun wajib bersertifikat halal.

Namun ada sejumlah produk yang tak wajib sertifikasi halal yaitu produk makanan dan minuman yang memang non-halal, semisal yang mengandung babi.

Baca Juga: Siaran Langsung Piala Asia 2023 Iran vs Jepang, Sabtu 3 Februari 2024, Kickoff Pukul 18.30 WIB

Produk tersebut tak wajib sertifikasi halal dan bisa diperdagangkan asalkan memberikan penjelasan atau gambaran sejelas-jelasnya bahwa itu mengandung unsur non halal. Misalnya, dengan memasang gambar babi di bungkusnya.

Seperti di Bali, Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Bali meluruskan soal program sertifikasi halal bagi pelaku usaha skala besar, UMKM, hingga pedagang kaki lima diminta agar pelaku kuliner nonhalal jangan mengkhawatirkan peraturan yang belum lama diumumkan itu.

“Tidak perlu khawatir, karena memang kuliner nonhalal tidak termasuk dalam program sertifikasi halal,” kata Kepala Bimas Islam Kanwil Kemenag Bali Abu Siri Sabtu 3 Februari 2024.

Baca Juga: Liga 1: Persib Bandung vs Persis Solo, Dear Bobotoh, Bojan Hodak Butuh Bantuan Penuhi GBLA, Bisa?

Abu Siri meluruskan bahwa program sertifikasi halal yang ditargetkan Kemenag rampung didaftarkan oleh seluruh UMKM hingga pedagang kaki lima paling akhir pada 17 Oktober 2024 bukan untuk usaha nonhalal.

Sebagai informasi, Bali terkenal dengan adat, budaya, tradisi, dan kearifan lokal masyarakatnya, terutama mayoritas umat Hindu.

Dalam upacara persembahan seringkali masyarakat menggunakan hewan contohnya babi yang kemudian dikonsumsi, babi sendiri akhirnya umum dijual para pengusaha kuliner karena sudah menjadi kearifan lokal.

Baca Juga: Kasus Penembakan WNA Turki d Bali, Pemimpin Geng Berniat Kabur ke Jakarta

Ia menilai kebijakan Kemenag ini jangan disalahartikan, karena di Bali selama ini proses sertifikasi juga berjalan lancar terhadap usaha kuliner skala besar, UMKM, pedagang kaki lima, atau tempat-tempat penyembelihan yang memang tepat sasaran memenuhi syarat.

“Sertifikasi halal tidak ada unsur paksaan, tetapi kebutuhan pengusaha untuk mencari sertifikat halal,” ujarnya dilansir dari Antara.

Dari data Kemenag Bali sepanjang 2023 sudah terbit 4.068 sertifikat halal dengan total 12.868 produk di Pulau Dewata, angka ini meningkat dari tahun 2022 yang hanya 338 sertifikat dan 4.348 produk.

Baca Juga: Bocoran Squid Game Season 2, Berikut Beberapa Potongan Gambarnya!

Ini menunjukkan program yang diinisiasi kementerian bisa berjalan dengan baik bahkan sudah melampaui target, dimana menurut Kabid Bimas ini disebabkan oleh kesadaran pelaku usaha.

“Ini kesadaran UMKM akan pentingnya sertifikat halal untuk produk yang dihasilkan dalam mendongkrak omset penjualan. Kegiatan Sosialisasi sudah beberapa kali kami laksanakan dengan menghadirkan UMKM maupun usaha besar,” kata dia.

Kemenag Bali berharap UMKM dan pedagang kaki lima di Pulau Dewata segera mengurus sertifikasi halal, karena program ini telah diumumkan Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) dengan batas hingga 17 Oktober mendatang. ***

Editor: Shira Ade

Sumber: Antara


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah