Ini Dia! Pasal Kontroversial UU Ciptaker Yang Bikin Buruh Resah

6 Oktober 2020, 10:37 WIB
Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menggelar Aksi Mogok Nasional pada Selasa, 6 Oktober 2020.* //Instagram @fspmi_kspi/

INDOBALINEWS - Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker) akhirnya disetujui dan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020) dan menimbulkan keresahan dan penolakan dari kaum buruh.

Pengesahan ini bagi para buruh tampak tergesa-gesa, karena maju beberapa hari dari jadwalnya, yang mana rencananya buruh masih akan menyampaikan aspirasinya sebelum rapat paripurna pengesahan RUU Ciptaker tersebut.

Pengambilan keputusan tingkat I RUU Ciptaker itu rencananya dijadwalkan pengesahannya pada Kamis depan (8/10/2020), seperti yang dikutip indobalinews dari RRI.

Ketergesa-gesaan proses pengesahan ini menjadi pertanyaan bagi masyarakat. Karena  ada beberapa pasal yang dianggap kontroversial dan belum dibahas secara detail oleh masyarakat terutama buruh.

Baca Juga: Pesta Seks Bergantian 3 Pasang ABG Selama Empat Hari Empat Malam di Pidie

Berikut ini pasal-pasal kontroversial yang membuat resah dan ditolak kaum buruh:

Pertama, Pemotongan Waktu Istirahat; UU Cipta Kerja menghapus libur mingguan selama dua hari untuk lima hari kerja.

Hal itu tertuang dalam Pasal 79 Ayat (2) poin b menyebutkan, istirahat mingguan hanya satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.

Selain itu, dalam Pasal 79 ayat (5) juga menghapus cuti panjang dua bulan per enam tahun. Cuti panjang nantinya akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, ataupun perjanjian kerja bersama.

Baca Juga: Najwa Shihab di Laporkan ke Polda Metro Jaya oleh Relawan Jokowi Bersatu

Kedua, Sistem Upah; dalam Pasal 88 B UU Cipta Kerja yang mengatur mengenai standar pengupahan berdasarkan waktu.

Pasal tersebut berpotensi menghapus Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan akan menjadi dasar bagi pengusaha untuk menerapkan perhitungan upah per jam.

Kemudian, Pasal 88 C, (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.

Baca Juga: Mau Kelihatan Gagah Pakai Mobil Dinas TNI, Malah Jadi Masalah

Ketiga, jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak; dinilai oleh buruh bahwa UU Ciptaker pasal 56 ayat (3) itu membuat buruh rentan kena PHK.

UU Cipta Kerja juga menghapuskan ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan mengenai aturan pembatasan jenis pekerjaan dan jangka waktu yang bisa diikat dalam kontrak kerja. Yang diartikan oleh kaum buruh sebagai tidak ada lagi batasan kontrak baik dari jenis atau sifat pekerjaan dan jangka waktunya.

Ketentuan tentang perjanjian kerja PKWT dapat berakhir saat pekerjaan selesai, juga membuat pekerja rentan di-PHK karena perusahaan dapat menentukan sepihak pekerjaan berakhir. Ini diartikan oleh buruh bukan mengacu pada waktu kerja yang disepakati, tetapi pada materi pekerjaan yang dianggap sudah selesai atau belum.

Baca Juga: Obat Covid-19 Covifor Akhirnya Diturunkan Harganya Menjadi Rp1,5 Juta

Keempat, kontrak kerja akan berlaku Seumur Hidup; Hal ini tertuang dalam UU Ciptaker Pasal 61 yang mengatur bahwa perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai. Padahal sebelumnya tidak dimuat dalam UU Ketenagakerjaan.

Dalam pasal 61A menambahkan, ketentuan pengusaha wajib memberikan kompensasi kepada pekerja yang memiliki hubungan kerjanya berakhir karena sudah jangka waktu perjanjian kerja dan selesainya pekerjaan.

Jangka waktu kontrak berada di tangan pengusaha, yang lebih parah bisa membuat status kontrak menjadi abadi.

Selain itu, pengusaha juga dapat sewaktu-waktu mem-PHK pekerja kontrak asalkan memberi kompensasi sesuai ketentuan tambahan dalam pasal 61A, yang tidak ada dalam UU Ketenagakerjaan.

Baca Juga: Ketahuan Bikin Resepsi Nikah Saat Pandemi, AKP Bobi Dicopot Jabatannya

Kelima, tentang Pesangon; dalam UU Cipta kerja dapat dipastikan pekerja akan tetap mendapatkan pesangon.Perbedaan ada pada soal skemanya yang mengalami perubahan.

Buruh menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. Di mana 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Hal itu tertuang dalam Pasal 46A:

(1) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja berhak mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan. 

(2) Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan oleh badan penyelenggara jaminan sosial ketenagakerjaan dan Pemerintah. 

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan jaminan kehilangan pekerjaan diatur dengan Peraturan Pemerintah

Sementara itu, soal jumlah maksimal pesangon diatur dalam pasal 156:

(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai berikut: 

  1. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
  2. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
  3. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
  4. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
  5. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  6. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
  7. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
  8. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
  9. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

(3) Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai berikut:

  1. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
  2. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
  3. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
  4. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  5. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
  6. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
  7. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
  8. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah. 

4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 

  1. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; 
  2. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja; 
  3. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.(***)




Editor: Rudolf

Sumber: RRI

Tags

Terkini

Terpopuler