Pascaserangan 11 September 2001, Derita Muslim Amerika: Dirundung hingga Jadi Target Komentar Rasis

10 September 2021, 15:02 WIB
Seseorang berjalan di dekat kolam peringatan di Memorial 11 September & Museum New York City. /ANDREW KELLY/REUTERS

INDOBALINEWS – Warga muslim di Amerika Serikat mendapat perlakuan yang teramat mengganggu setelah serangan 11 September 2001 atau dikenal nine eleventh (9/11) attacks.

Dilansir dari Al Jazeera, Jumat 10 September 2021, Hassan Sheikh, warga muslim Amerika ini masih bersekolah di SMA ketika terjadi tragedi berdarah tersebut.

Pascatragedi itu menjadi hari-hari buruk bagi warga muslim seperti Hassa Sheikh yang memiliki keturunan darah Pakistan ini.

Baca Juga: Pandemi Covid-19 Belum Usai, AS Akan Bantu Dunia Sebar Vaksin Pfizer 500 Juta Dosis

Ia mengaku kehilangan banyak teman, di-bully (dirundung), dan jadi target komentar rasis yang vulgar.

Pernah ketika main basket, pemain lawan mengoloknya ‘teroris arab bodoh’. Wasit yang mendengarnya saat itu diam saja, tak melakukan apapun.

Suatu ketika, setahun setelah serangan 11 September 2001, keluarga Hassan Sheikh bepergian ke Washington DC.

Ibunya yang memakai jilbab dicemoh seorang laki-laki dengan sebutan teroris, dan mempersoalkan mengapa memakai kerudung di kepalanya.

Baca Juga: Iran Desak Hindari Penggunaan Militer Asing di Afghanistan

Sheikh dan keluarganya bukanlah satu-satunya, banyak warga negara muslim Amerika lainnya mengalami hal serupa.

Masa pertengahan pascaserangan 11 September 2001, kejahatan berbasis kebencian terhadap muslim Amerika terus meningkat.

Data FBI menunjukkan dari 28 kasus pada 2000 meningkat tajam jadi 481 kasus pada 2001 di seluruh penjuru Amerika.

Jumlah kejahatan anti muslim masih tetap tinggi setelahnya. FBI mencatat ada 219 kasus ditahun 2019.

Baca Juga: Penunjukan Sirajuddin Haqqani dalam Pemerintahan Taliban, Tampar Muka Amerika dan Sekutunya

"Pascaserangan 11 september 2001 kebencian dan diskriminasi melonjak," kata Sumayah Waheed, konsultan di Muslim Advocates, sebuah lembaga pembela hak-hak sipil berbasis di Washington, DC.

"Kehidupan sehari-hari muslim Amerika tiba-tiba jadi objek konsumsi publik, keyakinan agamanya diganggu berbau rasial, dan seluruh komunitas diawasi masyarakat Amerika yang belum pernah terjadi sebelumnya," tambahnya.

Pemerintah AS pun tiba-tiba meningkatkan keamanan serentak di seluruh bandara dan  kantor-kantor pemerintahan.

Selanjutnya, Kongres berhasil meloloskan Patriot Act, sebuah UU yang memungkinkan lembaga penegak hukum AS melacak kegiatan warga Amerika dengan cara memonitor komunikasi baik secara online maupun per-telepon.

Baca Juga: Arab Saudi Dukung Penuh Dibukanya Dokumen Rahasia Tragedi 11 September 2001

Parahnya lagi, pemerintahan George W Bush pernah membuat "Wachtlist", dikenal dengan nama Terrorist Screening Database (TSDB). Pada 2016 terdaftar 5.000 warga AS dalam daftar, menurut data FBI.

Meskipun UU tersebut berakhir Maret 2020, namun tetap meninggalkan dampak berkepanjangan bagi muslim Amerika.

Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh Donald Trump tahun 2016 sebagai bahan kampanye memuluskan jalan menuju pemilihan presiden AS.

Sumayah Waheed mencatat kekerasan terhadap muslim Amerika meningkat kembali pada 2015 dan 2016. Lonjakan kasus ini sejalan dengan aktivitas kampanye pilpres yang dilakukan Donald Trump.

Baca Juga: Bule Linglung WNA Rusia di Bali Akhirnya Dideportasi

"Politik rasial antimuslim Donald Trump memicu kekerasan nyata dan timbul kebencian terhadap muslim," tegas Waheed.

Sementara itu Asad Butt, seorang produser podcast di Portland Oregon mengatakan muslim Amerika mengalami penderitaan akibat ‘kerikil kecil’ Islamophobia dan rasisme.

Pemerintah terus memata-matai warga muslim Amerika selama 20 tahun terakhir ini.

"Kami dianggapnya beda, padahal kami tak ada bedanya dengan warga Amerika lainnya," tutup Butt.***

Editor: M. Jagaddhita

Sumber: Al Jazeera

Tags

Terkini

Terpopuler