INDOBALINEWS – Teknologi digital membuka kemungkinan manfaat baru, tapi juga membawa bahaya baru.
Hal itu diungkapkan Prof. Dr. Franky Budi Hardiman, dosen filsafat dan penulis buku Aku Klik Maka Aku Ada, di Jakarta, Minggu, 26 September 2021.
Budi Hardiman menjadi narasumber di Obrolan HATI PENA #6, bertema “Disrupsi Membunuh Siapa?”.
Baca Juga: Denny JA: Revolusi Digital, Publik Sulit Bedakan Realitas dan Fiksi
Acara ini diselenggarakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena.
Narasumber lain adalah Ajisatria Suleiman, praktisi kebijakan digital dan penulis buku Jaring Pengaman Digital.
Diskusi ini dipandu oleh Amelia Fitriani dan Anick HT.
Dalam website semiinar, Budi Hardiman mendeskripsikan fenomena komunikasi digital, untuk menemukan pola, struktur, dan ciri khasnya, dibandingkan komunikasi korporeal.
Baca Juga: Jadwal World Superbike di Sirkuit Mandalika NTB Diundur Sepekan
Fenomenologi yang dipilih Budi bersifat “lunak,” karena tidak bersih dari aspek normatif seperti pada fenomenologi ketat.
Fenomena yang didekati adalah transformasi manusia, fanatisme digital, post-truth politics, pandemi dan digitalitas, serta tindakan digital.
Menurut Budi, adaptasi baru pada dunia konstruksi digital yang mengaburkan pembedaan fiksi/realitas dan original/artifisial itu bernama homo digitalis. Pandemi Covid-19 mempercepat transformasi manusia menjadi homo digitalis.
Pada kesempatan itu, Budi menegaskan, etika komunikasi digital perlu dibangun dengan mentematisasi “klik” sebagai tindakan digital.
Baca Juga: Menteri Sandiaga Uno: Bali Siap Uji Coba Pembukaan Pariwisata bagi Wisatawan Mancanegara
Tindakan digital ini memiliki bobot moral dan tanggung jawab lebih besar daripada tindakan korporeal, karena efek deteritorialisasi, banalisasi, dan dekorporealisasinya. ***