Hujan Es di Kintamani Bali pada Tahun Baru Imlek, BMKG: Ini Fenomena Cuaca Ekstrem dan Alamiah

- 1 Februari 2022, 17:17 WIB
BMKG menyebut hujan es yang terjadi di Kintamani Bali merupakan fenomena cuaca ekstrem dan alamiah.
BMKG menyebut hujan es yang terjadi di Kintamani Bali merupakan fenomena cuaca ekstrem dan alamiah. /Pixabay

INDOBALINEWS – Pada Tahun Baru Imlek, 1 Februari 2022, terjadi hujan es di kawasan Kintamani, Bangli, Bali.

Sejumlah akun mdia sosial membagikan foto dan video butiran es yang jatuh di daerah tujuan wisata yang berada di daerah ketinggian tersebut.

Kepala Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah III Cahyo Nugroho mengatakan yang terjadi di kawasan Kaldera Batur itu adalah hujan es atau hail merupakan fenomena cuaca alamiah yang biasa terjadi dan termasuk dalam kejadian cuaca ekstrem.

Baca Juga: Viral Video Konser Musik di Subang, Pemda Tutup Lokasi Wisata 

“Adapun kejadian hujan lebat disertai kilat atau petir dan angin kencang berdurasi singkat lebih banyak terjadi pada masa transisi atau musim pancaroba dari musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya,” katanya dalam keerangan resmi, Selasa 1 Februari 2022.

Kata dia kondisi tersebut dapat dimungkinkan terjadi pada musim hujan dengan kondisi cuaca sama seperti masa transisi atau pancaroba.

Fenomena hujan es atau hail ini disebabkan adanya awan cumulonimbus (CB). Pada awan ini terdapat tiga macam partikel (yaitu) butir air, butir air super dingin, dan partikel es, sehingga hujan lebat yang masih berupa partikel padat baik es atau hail dapat terjadi tergantung dari pembentukan dan pertumbuhan awan cumulonimbus (CB) tersebut,” tuturnya.

Dia juga menjelaskan terjadinya proses pembentukan es yang berawal dari pergerakan massa udara yang kuat.

Baca Juga: Ketua Dewan Penasehat PWI Pusat, Margiono Tutup Usia 

Adanya proses pergerakan massa udara naik dan turun yang sangat kuat, dikenal dengan istilah strong updraft and downdraft di dalam awan CB.

Pergerakan massa udara naik (updraft) yang cukup kuat dapat membawa uap air naik hingga mencapai ketinggian dimana suhu udara menjadi sangat dingin hingga uap air membeku menjadi partikel es.

Partikel es dan partikel air super dingin akan bercampur dan teraduk-aduk akibat proses updraft dan downdraft hingga membentuk butiran es yang semakin membesar. Saat butiran es sudah terlalu besar, maka pergerakan massa udara naik tersebut tidak akan mampu lagi mengangkatnya sehingga butiran es akan jatuh ke permukaan bumi menjadi hail/hujan es.

Strong updraft di suatu daerah dapat terbentuk akibat adanya pemanasan matahari yang intens, pemanasannya sangat optimal/kuat, antara pagi hingga siang hari, serta dapat dipengaruhi oleh topografi suatu daerah,” ujarnya.

Baca Juga: Operasi Pasar Disperindag, Pastikan Harga dan Ketersediaan Minyak di Bali 

Ia menambahkan fenomena hujan es juga bisa terjadi karena tingkat pembekuan yang rendah atau dikenal dengan istilah lower freezing level.

Pada fenomena hujan es/hail, lapisan tingkat pembekuan (freezing level) mempunyai kecenderungan turun lebih rendah dari ketinggian normalnya.

“Hal ini menyebabkan butiran es yang jatuh ke permukaan bumi tidak mencair sempurna,” katanya.

Lapisan tingkat pembekuan (freezing level) merupakan lapisan pada tinggian tertentu diatas permukaan bumi dimana suhu udara bernilai nol derajat celsius.

 Baca Juga: Kapolda Bali Pantau Pelaksanaan Ibadah Tahun Baru Imlek 2022 di Vihara Satya Dharma

Pada ketinggian  ini, butiran air umumnya akan membeku menjadi partikel es. Di Indonesia, umumnya lapisan tingkat pembekuan (freezing level) berada pada kisaran ketinggian antara 4-5 km diatas permukaan laut.

Cahyo Nugroho mengatakan hujan es bisa dikatakan jika memenuhi sifat-sifat fenomena hail yakni sangat lokal, luasannya berkisar 5-10 km persegi, waktunya singkat sekitar kurang dari 10 menit, dan lebih sering terjadi pada peralihan musim, dapat dimungkinkan terjadi pada musim hujan dengan kondisi cuaca sama seperti masa transisi atau pancaroba.

Selain itu, lebih sering terjadi antara siang dan sore hari, tidak bisa diprediksi secara spesifik, hanya bisa diprediksi 0.5-1 jam sebelum kejadian jika melihat atau merasakan tanda-tandanya dengan tingkat keakuratan < 50 persen.

Ia menambahkan fenomena hail hanya berasal dari awan cumulonimbus, tetapi tidak semua awan Cb menimbulkan hujan es atau hail.

Baca Juga: Pemain Madura United Terpapar Covid 19, Laga Melawan Persipura Ditunda 

“Fenomena ini kemungkinannya kecil untuk terjadi kembali di tempat yang sama dan dalam waktu yang singkat,” jelasnya.

Ia mengimbau pada cuaca ekstrem seperti ini agar tetap waspada dan berhati-hati terhadap dampak bencana yang dapat ditimbulkan dari cuaca ekstrem seperti banjir, genangan air, tanah longsor, angin kencang, pohon tumbang dan petir.***

Editor: M. Jagaddhita


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x