"Hanya saja, kebanyakan di antara mereka kurang diberdayakan, kebanyakan keluar desa pada usia yang relatif muda untuk menyambung hidup. Padahal, mereka bisa membangun desa dari dalam. Saat ini kami sedang menggarap pemberdayaan itu, seperti pengolahan produk paska panen singkong," katanya.
Persoalan pemberdayaan tersebut tak terlepas dari keberadaan fasilitas pendidikan di kawasan tersebut. Diantara menjelaskan bahwa satu-satunya fasilitas pendidikan yang ada di desanya hanyalah SD.
Baca Juga: Dua Patung di Tegallalang Tembus Rekor MURI
Sementara itu, untuk melanjutkan ke jenjang sekolah menengah pertama, SMPN 7 Kintamani menjadi SMP terdekat yang dapat dijangkau. Sekolah ini terletak sekitar 8,7 km dari desa dan harus ditempuh dengan menjajal medan curam Pegunungan Kintamani sebelah timur laut.
Kendala-kendala akses itulah yang dipandang menjadi penghambat anak-anak untuk melanjutkan sekolah. Akhirnya, mereka lebih memilih tidak melanjutkan sekolah.
Baca Juga: Pelaku Pariwisata di Bali Berharap Keran Wisman Dibuka
"Sejatinya kami sudah memiliki tiga kelas yang dapat dimanfaatkan untuk SMP Satu Atap, namun, kendala selanjutnya adalah ketidakadaan guru untuk mengajar.
Pada akhirnya, jika ingin melanjutkan, jalan satu-satunya ya harus sekolah di luar desa. Itu menjadi sulit bagi sebagian penduduk, terlebih melihat akses jalan yang cenderung berbahaya," katanya berharap persoalan tersebut dapat menjadi perhatian unsur terkait. (***)