INDOBALINEWS - Digitalisasi dapat memperbesar kesenjangan berupa persaingan antar-UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), namun bahaya itu bisa diatasi dengan konsep negara kesejahteraan digital (digital welfare state).
Hal itu diungkap Ajisatria Suleiman, praktisi kebijakan digital dan penulis buku Jaring Pengaman Digital, di Jakarta, Minggu, 26 September 2021.
Ajisatria menjadi narasumber di Obrolan HATI PENA #6, bertema “Disrupsi Membunuh Siapa?”
Baca Juga: Teknologi Digital Memberi Manfaat, Tetapi Juga Bahaya Baru
Acara ini diselenggarakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena.
Narasumber lain adalah Prof. Dr. Franky Budi Hardiman, dosen filsafat dan penulis buku Aku Klik Maka Aku Ada.
Diskusi dipandu oleh Amelia Fitriani dan Anick HT.
Ajisatria menjelaskan, welfare state secara umum adalah kebijakan, program, dan praktik yang ditujukan untuk memberi perlindungan sosial kepada individu.
Baca Juga: Denny JA: Revolusi Digital, Publik Sulit Bedakan Realitas dan Fiksi
Pada konsep welfare state di masa mendatang, rakyat bukan hanya objek santunan pemerintah.
Namun santunan tersebut, harus juga mentransformasi rakyat menjadi agen-agen perubahan yang menjadi motor produksi dan distribusi kegiatan ekonomi digital.
Menurut Ajisatria, digital welfare state disusun sebagai integrasi jaring pengaman sosial, dorongan konsumsi masyarakat, dan transformasi bisnis digital ke dalam satu kerangka kebijakan yang komprehensif.
Melalui kombinasi ini, kualitas pelayanan publik semakin meningkat, dan di saat yang sama, sektor bisnis dapat melaju lebih pesat.
Baca Juga: Jadwal World Superbike di Sirkuit Mandalika NTB Diundur Sepekan
Ajisatria menambahkan, masyarakat Indonesia sekarang ini sudah semakin digital.
Koneksi mobile sudah mencapai 345,3 juta. Jika dibandingkan jumlah penduduk, angka itu sudah mencapai 125,6 persen.
Waktu yang dihabiskan tiap hari untuk internet (semua piranti) mencapai 8 jam 52 menit. ***