Hari Raya Nyepi, Filosofi dan Tahapan Upacaranya

- 4 Maret 2021, 11:00 WIB
Pawai ogoh-ogoh kembali ditiadakan tahun ini karena alasan pandemi Covid-19.
Pawai ogoh-ogoh kembali ditiadakan tahun ini karena alasan pandemi Covid-19. /Indobalinews/Dok Humas Pemkab Buleleng

INDOBALINEWS – Hari Raya Nyepi merupakan hari raya pergantian tahun Saka dalam kalender Bali. Untuk tahun 2021 ini, Hari Raya Nyepi jatuh pada tanggal 14 Maret.

Nyepi tak sekadar perayaan Tahun Baru Saka. Nyepi memiliki filosofi di mana umat Hindu memohon kepada Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, untuk melakukan penyucian Buana Alit (manusia) serta Buana Agung (alam dan seluruh isinya).

Nyepi mengandung arti sepi atau sunyi, dan dirayakan setiap satu tahun Saka. Pada saat Nyepi, tidak boleh melakukan aktifitas pada umumnya, seperti ke luar rumah (kecuali sakit dan perlu berobat), menyalakan lampu, bekerja dan sebagainya.

Baca Juga: Ini Jejak Sejarah Tari Pendet yang Telah Mendunia

Tujuan dari Hari Raya Nyepi adalah agar tercipta suasana sepi, sepi dari hiruk pikuknya kehidupan dan sepi dari semua nafsu atau keserakahan sifat manusia untuk menyucikan Buana Agung (alam semesta) dan Buana Alit (manusia).

Hari Raya Nyepi khususnya di Bali, memiliki beberapa tahapan. Dimulai dari Upacara Melasti, Mecaru, dan Pengerupukan. Kemudian diikuti oleh puncak Hari Raya Nyepi. Terakhir, ada Ngembak Geni.

Upacara Melasti dilaksanakan tiga hari sebelum Hari Raya Nyepi. Upacara ini bermakna untuk menyucikan diri secara lahir dan batin, serta benda sakral seperti Arca dan Pratima.

Baca Juga: Pesona Nusa Penida di Tenggara Bali, dari Broken Beach Hingga 'Raja Ampat'

Sehari sebelum Nyepi, akan dilakukan Pengerupukan atau sering kita sebut Ngerupuk. Ini salah satu upacara umat Hindu yang dilaksanakan untuk mengusir Bhuta Kala dan dilaksanakan sesaat setelah Mecaru, yaitu dengan menyebar (nasi) tawur.

Upacara Pengerupukan dilaksanakan dengan membuat api atau obor untuk mengobori lingkungan rumah, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu sejenis bahan makanan, serta membunyikan atau memukul benda-benda apa saja seperti kentongan untuk menghasilkan suara ramai dan kegaduhan.

Hal ini dilakukan untuk mengusir para Butha Kala dari pekarangan atau lingkungan rumah.

Baca Juga: Ini 8 Tempat Wisata Terbaik di Bali Utara

Dalam kebudayaan dan tradisi Bali, Butha Kala dapat digambarkan dalam seni patung atau yang disebut ogoh-ogoh.

Perwujudan Buta Kala ini akan diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama, yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar.

Pada tahun 2021, Hari Raya Pengerupukan akan kembali ditiadakan. Hal ini dikarenakan wabah virus corona masih melanda Indonesia, termasuk Bali.

Baca Juga: Buruan Daftar! Gelombang 13 Kartu Prakerja Dibuka

Pelaksanaan Nyepi Saka 1943 (tahun 2021), termasuk juga tentang peniadaan pawai ogoh-ogoh, sudah diatur dalam Surat Edaran (SE) bersama PHDI Bali dan Majelis Desa Adat (MDA) Bali Nomor 009/ PHDI-Bali/ I/ 2021 dan Nomor 002/MDA-Prov Bali/ I/ 2021.

Tradisi mengarak ogoh-ogoh, seperti yang selalu dilakukan setiap tahun, selalu menjadi peristiwa yang dinanti oleh warga, baik umat Hindu maupun pemeluk agama lain.

Setiap tahunnya, Bali biasanya dapat menarik kedatangan para wisatawan mancanegara, untuk melihat tradisi dari Hari Raya Nyepi ini.

Baca Juga: OJK Blokir Snack Video dan Tiktok Cash, Ini Alasannya

Pada Hari Raya Nyepi, tidak ada aktifitas seperti biasanya. Pada hari ini dilakukan puasa Nyepi, karena pada saat itu diadakan Catur Brata Penyepian:

1. Amati Geni, yaitu tidak boleh menggunakan atau menyalakan api serta tidak mengobarkan hawa nafsu.

2. Amati Karya, yaitu tidak melakukan kegiatan kerja jasmani melainkan meningkatkan kegiatan menyucikan rohani.

3. Amati Lelungan, yaitu tidak berpergian melainkan melakukan mawas diri.

Baca Juga: Pemprov Bali Harus Selektif Memilih Investor Terkait Penanaman Modal

4. Amati Lelanguan, yaitu tidak mengobarkan kesenangan/ hiburan melainkan melakukan pemusatan pikiran terhadap Ida Sang Hyang Widhi.

Brata penyepian ini mulai dilakukan pada saat matahari “Prabrata” fajar menyingsing sampai fajar menyingsing kembali keesokan harinya (24 jam).

Sehari setelah Nyepi, dilaksanakan Ngembak Geni yang merupakan rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka.

Baca Juga: Pariwisata Jadi Prioritas Utama Pemulihan Perekonomian Bali

Dilaksanakan dengan mengadakan kunjungan antar keluarga maupun para tetangga dan kenalan. Saling memaafkan satu sama lain dengan memegang prinsip Tattwam Asi yaitu “Aku adalah Kamu dan Kamu adalah Aku“.

Posisi kita sama di hadapan Tuhan. Walaupun kita berbeda agama atau keyakinan, hendaknya kita hidup rukun dan damai selalu. Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih.***

Editor: M Susanto Edison


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x