Pemberlakuan Syarat Kunjungan ke Bali Berefek Domino Bagi Pelaku Pariwisata

16 Desember 2020, 18:19 WIB
Welcome Board di pintu masuk Terminal Kedatangan Bandara Ngurah Rai Bali /Shira Ade

INDOBALINEWS - Sehari pasca dikeluarkannya SE Pelaksanaan Kegiatan Masyarakat Selama Libur Hari Raya Natal & Menyambut Tahun Baru Berlaku 18 Desember Sampai 4 Januari 2021 yang dikeluarkan Gubernur Bali, sejumlah reaksi bermunculan, Rabu 16 Desember 2020.

Baca Juga: Presiden Jokowi di Hari Anti Korupsi Sedunia : Reformasi Aturan Jadi Upaya Penting Pencegahan

Pasalnya di dalam surat edaran tersebut tercantum sejumlah peraturan dan pelarangan yang wajib dilaksanakan oleh setiap pelaku perjalanan dalam negeri (PPDN) yang berniat melewatkan libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) di Bali.

Di antaranya adalah pemberlakuan wajib menunjukka hasil tes Swab negatif untuk penumpang pesawat yang tiba di Bali dan rapid test yang lewat darat. Selain itu juga pelarangan digelarnya pesta Tahun Baru baik indoor ataupun outdorr, serta larangan memasang petasan dan mabuk Miras.

Baca Juga: 1 Dari 4 Penduduk Dunia Mungkin Tak Kebagian Jatah Vaksin Sampai Tahun 2022, Kata Peneliti

Menurut Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan Indonesia (ASTINDO) Anton Sumarli, pemberlakuan syarat kunjungan ke Bali dan pelarangan perayaan malam tahun baru membuat pelaku di sektor pariwisata terdampak.

Mulai dari terjadinya gelombang penggantian jadwal (reschedule) hingga pembatalan (cancellation) dan  efek domino bagi para pelaku di sektor pariwisata, mulai dari agen perjalanan (travel agent), restoran, hingga pemandu wisata (tour guide).

Baca Juga: Presiden Jokowi, Peringkat 12 dari 500 Tokoh Muslim Paling Berpengaruh di Dunia

"Satu hari sejak keputusan tersebut, sudah terjadi gelombang pembatalan (perjalanan ke Bali). Efeknya besar sekali, seperti domino. Bukan cuma ke travel agent, tapi juga ke restoran, hotel, transportasi, hingga tour guide," kata Anton kepada ANTARA, Rabu 16 Desember 2020 seperti yang dikutip indobalinews.com.

Ditambahkan oleh Anton, teman-teman di industri pariwisata Bali yang mulanya senang karena ada pekerjaan lagi, mau tidak mau harus menghadapi cancellation seperti ini. Tak sedikit juga yang rugi karena ada cost yang sudah dideposit dan sebagainya, dan tidak bisa balik.

Baca Juga: Dilarang : Pesta Tahun Baru, Petasan dan Mabuk Selama Libur Nataru di Bali

 

Meski demikian, Anton mengatakan pihaknya mendukung keputusan pemerintah mengenai syarat dan larangan yang dibuat untuk menekan penularan COVID-19. Hanya saja, ia berharap pemerintah bisa memberi tahu kebijakan ini jauh lebih awal.

"Hanya saja kok informasinya baru sekarang, tidak di awal. Sekarang sudah tanggal 15-16, dalam arti kita sudah prepare untuk tahun baru. Bukan cuma tamu, tapi travel agent juga ada persiapan untuk paket wisata dan sebagainya," kata Anton.

Baca Juga: Tokoh Lintas Agama Dukung Kepolisian Ciptakan Kedamaian di Bali

Saat ini, pihaknya telah menerima gelombang yang menanyakan soal tes usap ke Bali, mengingat Pulau Dewata merupakan salah satu destinasi wisata dengan permintaan tertinggi di Indonesia.

Namun, pertanyaan itu juga dibarengi dengan pertimbangan konsumen mengenai biaya perjalanan yang bisa dibilang menjadi dua kali lipat lebih besar.

Pemerintah sendiri mewajibkan wisatawan yang naik pesawat ke Bali wajib melakukan tes Polymerase Chain Reaction (PCR) pada H-2 atau 48 jam sebelum keberangkatan.

Baca Juga: Update Penanggulangan Covid-19 di Bali, Selasa 15 Desember 2020

"Biaya tes PCR atau tes swab (usap) memang dihargai sekira Rp900 ribu. Namun, hasilnya akan keluar dalam waktu maksimal tiga hari. Sementara, persyaratan meminta 48 jam, paling tidak untuk yang instan, kita harus menambah biaya sekira Rp300 ribu, totalnya Rp1,2 juta, hampir sama dengan tiket pesawatnya, sehingga double price," jelas Anton.

Lebih lanjut, Anton mewakili asosiasinya berharap kepada pemerintah untuk lebih matang dalam membuat program dan keputusan, dan bisa diinformasikan dari jauh hari sehingga baik para pelaku dan konsumen memiliki waktu untuk menentukan rencana mereka.

Baca Juga: Beralasan Iseng Pengancam Bunuh Kapolda Metro, Dibekuk Polisi

"Sikap kami untuk pemerintah adalah kami mendukung segala kebijakan pemerintah, apalagi dengan kondisi pandemi, kita mendorong agar kasusnya turun dan normal kembali. Hanya saja, kebijakan itu harus terprogram dengan baik dan jangan mendadak," kata Anton.

Sependapat dengan Anton, DPP Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Budijanto Ardiansjah berharap pemerintah bisa lebih tegas dan konsisten dalam pengambilan keputusan, terutama untuk akses mobilitas di sektor pariwisata.

Baca Juga: Dari Rekonstruksi, Kompolnas Sebut Laskar FPI Sejak Awal yang Serang Polisi

"Penetapan aturan yang konsisten. Pemerintah sudah punya tolok ukur seperti apa, dan harus dilakukan lebih baik, jangan ada revisi dan pengulangan lagi secara mendadak agar pelaku dan konsumen tidak kebingungan," kata Budijanto.

"Harusnya tertata lebih baik, seperti misalnya ada masa pelarangan, wisatawan masuk bertahap, dan lainnya. Harus ada satu kepastian dari pemerintah supaya semua pihak bisa mengambil strategi dan langkah selanjutnya untuk pemulihan ekonominya seperti apa," ujarnya menambahkan.

Baca Juga: Seorang Penyelam Hilang Saat Lakukan Penelitian Bawah Laut di Bali

 

Budijanto melanjutkan, ia dan para pelaku di sektor pariwisata tentu akan mendukung kebijakan pemerintah yang diarahkan untuk mengurangi kerumunan guna menekan angka penularan COVID-19.(***)

Editor: Shira Ade

Sumber: Antaranews.com

Tags

Terkini

Terpopuler