Menyoal Revisi UU ITE, Iklim Dunia Siber Perlu Etika Berkomunikasi

11 Maret 2021, 21:09 WIB
Webinar "Menyikapi Perubahan Undang-Undang ITE," yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Rabu 10 Maret 2021. /Dok PWI Bali

INDOBALINEWS - Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Revisi UU ITE) perlu sejumlah pertimbangan karena pesatnya penggunaan internet.

Sementara pemanfaatan ruang digital oleh warga belum optimal untuk hal yang positif. Karenanya etika berkomunikasi perlu ditegakkan dalam iklim di dunia siber.

Hal itu diungkapkan oleh Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto dalam webinar "Menyikapi Perubahan Undang-Undang ITE," yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Rabu 10 Maret 2021.

Baca Juga: Langgar Prokes, Tim Yustisi Denpasar Tertibkan Dua Kafe di Jalan Tukad Badung

"Iklim di dunia cyber memerlukan etika berkomunikasi agar kebebasan pribadi tidak melanggar kebebasan orang lain," kata Wawan Hari Purwanto seperti yang dikutip indobalinews.com dari keterangan tertulis PWI Bali.

Disampaikan juga oleh Wawan menyampaikan BIN aktif melaksanakan patroli siber 24 jam guna menangkal konten-konten negatif yang merugikan kepentingan publik dan menciptakan instabilitas sosial politik di Indonesia. Ia bahkan menyebut sejumlah kerusuhan di dunia nyata dimulai dari ujaran kebencian di media sosial.

Baca Juga: Libur Nyepi, Ini Jadwal Penutupan Layanan ATM dan Perbankan di Bali

Pembicara lainnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono membeberkan data laporan kepolisian terkait UU ITE meningkat setiap tahunnya.

"Pada tahun 2018 itu ada laporan polisi 4360. Kemudian 2019 meningkat jadi 4586. Kemudian 2020 meningkat lagi menjadi 4790. Ini kecenderungannya laporan polisi terkait UU ITE meningkat," sebut dia.

Baca Juga: Kecelakaan Bus Sumedang : Diselidiki Kelebihan Muatan Hingga Supir Pakai Aplikasi Peta Online

Menurut Rusdi, tidak semua kejadian yang menyangkut UU ITE tersebut dilaporkan sampai menjadi satu laporan polisi. "Tentunya apabila dilaporkan semuanya ini akan lebih banyak lagi," imbuhnya.

Dikatakannya juga banyaknya tersangka atau barang bukti yang diserahkan ke Kejaksaan tidak bisa dijadikan penilaian keberhasilan kinerja Polri pada era kekinian. Tapi, bagaimana polisi mampu mencegah tindak kejahatan, masyarakat tidak menjadi korban kejahatan dan juga mencegah munculnya pelaku-pelaku kejahatan.

Baca Juga: Ini Manfaat Berdiri, Dari Bakar Kalori Hingga Kurangi Risiko Penyakit Jantung

"Ini yang senantiasa menjadi bagi Polri bagaimana ke depan sisi-sisi pencegahan itu menjadi sesuatu yang dominan di dalam pelaksanaan tugas di lapangan," terangnya.

 

Di Webinar yang sama, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf berpendapat jika dilihat dari segi hukum revisi UU ITE tersebut sebenarnya ingin memadukan, menemukan, mengintegrasikan citra hukum dengan keadilan, sebagaimana pernah ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo. "Jadi kalau ini ada masalah soal keadilan maka di hulunya yang kita perbaiki," ujarnya.

Baca Juga: Kisah Viral Pasangan Dokter Sultan, Punya 25 ART Salah Satunya Khusus Beli Galon

Setelah itu, langkah selanjutnya yang mesti dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika yakni, memastikan soal kepastian hukum. Di sisi masyarakat, revisi atau perubahan tersebut harus ada manfaatnya. Ia pribadi cenderung mendorong DPR menginisiasi revisi UU ITE mengingat lembaga ini mewakili rakyat.

Sementara anggota Komisi I DPR, Sukamta setuju agar UU ITE segera direvisi. Namun hingga saat ini belum ada upaya nyata dari pemerintah, termasuk DPR.

Baca Juga: Keburu Viral, Bule Yang Buka Kelas Orgasme di Ubud Bali Diamankan Polisi

Sukamta berpendapat, maraknya pelaporan ke polisi atas pelanggaran UU ITE, justru mengancam kebebasan pers yang selama ini sudah berjalan benar.

"Mengutip data pemidanaan terhadap jurnalis atau media pada 2018 dan 2019 ini menjadi yang tertinggi, banyak pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE ini jelas saya kira menjadi kemunduran bagi demokrasi dan bertolak belakang dengan semangat kebebasan pers di dalam UU No 40/99 Tentang Pers," tutur Sukamta.

Baca Juga: WNA Langgar Prokes di Bali Bisa Kena Denda Rp1 Juta Hingga Deportasi

Webinar yang mendapat perhatian dari berbagai kalangan profesi ini dimoderatori oleh Wina Armada dan dibuka oleh Ketua Umum PWI Pusat Atal S Depari, juga dihadiri oleh Sekjen PWI Pusat, Mirza Zulhadi, Wakil Sekjen Suprapto Sastro Atmojo dan Wakil Bendahara PWI Pusat, Dar Edi Yoga.***

Editor: Shira Ade

Tags

Terkini

Terpopuler