Tradisi Unik di Bali saat Galungan dan Kuningan

12 September 2020, 12:43 WIB
Barong dan Orang Ngurek/ frejka/ pixabay /

INDOBALINEWS – Hari suci Galungan (Rabu, 16 September 2020) dan Kuningan (Sabtu, 26 September 2020) sebentar lagi, warga Bali dan masyarakat beragama hindu sudah disibukkan dengan beragam persiapan.

Baca Juga: Sambut Hari Suci Galungan dan Kuningan, 3 Lagu ini Ikonnya

Mulai dari penjor, banten hingga keperluan upakara lainnya. Terlebih kondisi saat ini masih situasi pandemi covid-19.

Tapi kali ini kita akan membahas seputar tradisi unik yang biasanya hanya ditemui ketika galungan dan kuningan saja. Apa sajaklah itu? berikut rangkumannya dilansir dari berbagai sumber.

 Baca Juga: Puja Astawa, Dari Fotografer ke Pelawak

Memujung

Orang-Orang ‘Munjung’ ke Kuburan. Tradisi munjung atau mengunjungi kuburan dengan membawa sesajen dilakukan seusai melaksanakan persembahyangan di beberapa pura pada Hari Raya Suci Galungan.

Selama jasad masih dikubur dan belum dilaksanakan upacara ngaben atau pembakaran jenazah bagi umat Hindu, maka sanak keluarga yang masih hidup wajib mendatangi kuburan anggota keluarganya karena arwah mereka diyakini masih belum menyatu dengan Ida Sang Hayang Widhi.

Baca Juga: Sambut Hari Suci Galungan dan Kuningan, 3 Lagu ini Ikonnya

‘Punjung’ yang dibawa, dikhususkan bagi orang yang telah meninggal dan diletakkan di atas gundukan tanah kuburan. Sembari membawa punjung itu, mereka juga mendoakan sanak keluarganya yang masih dikubur agar tenang di alam baka.

Pujung ini berupa banten tertentu yang kemudian akan diletakkan di atas gundukan tanah kuburan. Namun sayang, saat ini tradisi ini semakin sedikit ditemui biasanya tradisi ini masih ditemui di Bali Utara. Penyebabnya adalah masyarakat saat ini lebih memilih untuk langsung melaksanakan upacara ngaben.

 

Perang Jempana

Tradisi unik lainnya saat Hari Raya Galungan dan Kuningan tiba, ada di Desa Paksebali, Klungkung. Warga Banjar Panti Timrah di desa ini setiap tahunnya mengadakan tradisi yang dikenal sebagai Perang Jempana.

Dikenal juga sebagai Dewa Masraman, Perang Jempana diperkirakan telah ada sejak tahun 1500. Perang Jempana biasanya dilakukan setiap 210 hari, tepat pada hari Saniscara Kliwon Kuningan. Saat melakukan tradisi Perang Jempana, penduduk setempat akan mengusung tandu (Jempana) yang berisi sesajen dan simbol Dewata.

Baca Juga: Erik Sondhy Keluar dari Zona Nyaman, Karena Merasa Sudah Cukup

Puncak dari tradisi ini adalah Ngambeng Jempana, yaitu atraksi saling dorong antar warga yang membawa jempana sambil diiringi suara tabuhan gong baleganjur. Para warga yang terlibat biasanya sudah berada dalam kondisi tidak sadar. 

Begitu Ngambeng Jempana berakhir, jro mangku akan memercikkan tirta (air suci) ke warga. Dan para dewa yang dilambangkan dengan uang kepeng serta benang tridatu dikeluarkan dari jempana yang kemudian kembali ditempatkan ke dalam Pura.

Ngelawang

Memperingati Hari Raya Galungan dan Kuningan, anak-anak kecil yang berdomisili di Bali khususnya wilayah Tabanan, Badung, Denpasar dan Gianyar akan melakukan tradisi Ngelawang Barong.

Masyarakat Hindu di Bali percaya melalui Ngelawang Barong dapat menolak bala, mengusir roh jahat, dan melindungi penduduk dari wabah penyakit. 

Baca Juga: Memasak, Tradisi Unik di Tanjung Benoa saat Galungan dan Kuningan

Berasal dari kata 'Lawang' yang berarti pintu, Ngelawang dilakukan dengan mengarak barong bangkung dari rumah ke rumah sambil diiringi suara gamelan. Menurut kepercayaan Hindu, Barong adalah lambang perwujudan Sang Banas Pati Raja yang melindungi manusia dari bahaya.

Sedangkan tradisi Ngelawang Barong berasal dari mitologi Dewi Ulun Danu yang berubah jadi raksasa yang membantu penduduk desa mengalahkan roh jahat. Dahulu, karena dianggap sebagai ritual yang sakral, apabila bulu barong tercecer, maka warga akan memungutnya dan menjadikannya sebagai benda bertuah.

Baca Juga: Sempat Tertunda, Album Kompilasi Dewi Laksmi akhirnya Resmi Dirilis

Mekotek

Tradisi Mekotek merupakan tradisi tolak bala yang dilakukan masyarakat Hindu di Desa Adat Munggu, Kecamatan Mengwi, Badung, Bali. Dilaksanakan secara rutin setiap 210 hari sekali menurut kalender Bali, Mekotek dilakukan tepat pada Hari Raya Kuningan, atau 10 hari setelah Hari Raya Galungan. 

Dulunya tradisi Mekotek dijadikan sebagai acara penyambutan pasukan Kerajaan Mengwi yang menang perang melawan Kerajaan Blambangan. Pada zaman penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1915, tradisi Mekotek sempat dihentikan karena pihak kolonial takut akan ada pemberontakan.

Baca Juga: Konser Drive-in Perdana di Jakarta, Kahitna, Afgan dan Arman Maulana Hipnotis Penonton

Sayangnya keputusan itu tidak berbuah baik, penduduk terkena wabah penyakit, sehingga akhirnya setelah melalui perundingan yang alot, Mekotek diizinkan untuk digelar kembali. Tradisi mekotek dilakukan dengan kayu sepanjang 2,5 meter yang telah dikupas kulitnya. 

Kayu digunakan untuk menggantikan peran tombak untuk menghindari terjadinya luka parah. Penduduk yang mengikuti tradisi Mekotek akan dibagi menjadi beberapa kelompok.

Baca Juga: Arjuna Nakal Persembahkan Karya Perdana untuk Umat Hindu

Dan dari anggota kelompok, akan dipilih orang yang berani sebagai komando untuk memberi aba-aba dari atas puncak piramida tumpukan kayu.

Ia akan mengarahkan kelompoknya untuk menabrak kelompok lainnya. Selain untuk menolak bala, Mekotek juga dipercaya sebagai permohonan untuk mendapat berkah dan meminta kesuburan untuk lahan pertanian penduduk setempat.(***)

Editor: Gede Apgandhi Pranata

Tags

Terkini

Terpopuler