Hina Presiden Bisa Dihukum 4,5 Tahun Bui, Formappi: Membungkam Kebebasan Berpendapat Warga Negara

- 9 Juni 2021, 23:34 WIB
Ilustrasi media sosial. Dalam draft terbaru RUU KUHP ada pasal jika menghina presiden bisa dipidana 4,5 tahun penjara. RUU KUHP hina DPR.
Ilustrasi media sosial. Dalam draft terbaru RUU KUHP ada pasal jika menghina presiden bisa dipidana 4,5 tahun penjara. RUU KUHP hina DPR. /Hening Prihatini/Pexels.com/Tracy Le Blanc

INDOBALINEWS - Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP yang mengatur salah satunya soal penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden melalui media sosial bisa dihukum 4,5 tahun penjara dinilai sebagai bentuk pembungkaman kebebasan berpendapat warga negara.

Saat ini, Pemerintah dan DPR tengah menggodok draf Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP.

Salah satu poinnya adalah mengatur tentang penindakan terhadap penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden melalui media sosial bisa dihukum 4,5 tahun penjara.

Baca Juga: Anita Wahid Sebut Isu Radikalisme dan Taliban Sengaja Dibuat untuk Melemahkan KPK

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karius menilai pembahasan mengenai draf RUU KUHP menandakan adanya ketidak konsistenan pemerintah dan DPR.

"Jadi tak tepat pasal penghinaan itu diatur dalam KUHP. Ini hanya akan semakin mengukuhkan kecenderungan pemerintah untuk membungkam kebebasan berpendapat warga negara sesuatu yang seharusnya paling harus dilindungi oleh pemerintah," ucapnya dilansir pikiran-rakyat.com, Rabu 9 Juni 2021.

Dia melanjutkan, poin penghinaan terhadap kepala negara tersebut tersebut tak jauh beda dengan pasal karet dalam UU ITE yang dicanangkan akan direvisi oleh pemerintah karena dapat membungkam kebebasan berpendapat.

Baca Juga: Istri Meninggalkan Rumah, Vicky Prasetyo Sebut Konflik dalam Pernikahan Wajar Terjadi

"Niat baik pemerintah terkait revisi UU ITE itu terlihat tidak konsisten jika disaat bersamaan tak ada penghapusan pasal-pasal karet serupa pada RUU KUHP," sambung Lucius.

Keberadaan poin penghinaan terhadap Kepala Negara itu justru dapat menjadi alat kekuasaan untuk membungkam kebebasan berpendapat dimuka umum.

Karena pasal itu sendiri bisa menjadi pasal karet baru yang bisa digunakan para penguasa untuk melakukan pembungkaman terhadap warga negara.

Baca Juga: Fahri Hamzah: Pak Harto Tokoh Besar yang Mentransformasi Negara Kita Menjadi Kekuatan Disegani

"Keseriusan pemerintah untuk menjamin kebebasan berpendapat akan terlihat dalam komitmen mereka dalam menjamin kebebasan berpendapat itu," tandasnya lagi.

Tidak ada ukuran yang pasti mengenai penghinaan terhadap lembaga negara maupun kekuasaan umum.

Lucius mempertanyakan, siapa yang nantinya bisa merasa mewakili lembaga maupun kekuasaan sehingga penghinaan itu dapat diadukan, karenanya hal itu menjadi sangat rentan disalahgunakan.

Baca Juga: Kalina Ocktaranny Meninggalkan Rumah, Vicky Prasetyo: Semoga Dia Bisa Merenungkan Semuanya

"Karena itu tak ada orang yang merasa bisa mengatasnamakan lembaga menjadi tersinggung oleh pernyataan atau kritik dari pihak lain atau dari rakyat," tegas dia.

Semestinya delik aduan itu ditujukan bagi semua pihak di lembaga negara yang sudah menghina negara dengan tindakan yang merugikan rakyat seperti korupsi, suap, dan aneka perilaku menyimpang lainnya.

"Perbuatan-perbuatan inilah yang sesungguhnya mendatangkan malu bagi lembaga ketimbang kritik yang disampaikan publik atau warga masyarakat," Lucius menandaskan. ***

Editor: R. Aulia

Sumber: Pikiran-Rakyat.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x