Virus Nipah, Ancaman setelah Pandemi Corona? Cek Virus Apa Ini

28 Januari 2021, 10:03 WIB
Kelelawar buah yang terinfeksi menjadi salah satu penyebab penyebaran virus Nipah. /Pixabay/Dorothee QUENNESSON


INDOBALINEWS
- Pandemi corona atau covid-19 nyaris setahun dirasakan dan belum juga ada tanda-tanda bakal lenyap meskipun vaksin sudah ditebar.

Bahkan di sejumlah wilayah di Indonesia peningkatan kasus positif terpapar virus ini terus saja melonjak. 

Seperti di Bali data Satgas Penanggulangan Covid-19 di Bali per hari Rabu 27 Januari 2021, jumlah penambahan terkonfirmasi positif khusus kemarin saja tembus di angka 540 orang.

Baca Juga: Masih Tinggi Lonjakan Kasus Positif Covid-19 di Bali, Update Rabu 27 Januari 2021

Ditambah lagi muncul kabar virus corona yang bermutasi menjadi jenis baru yang sudah terdeteksi di sejumlah negara termasuk di Inggris. 

Belum habis kekhawatiran dan penderitaan bumi ini, muncul lagi ancaman baru. Belum lama ini seperti yang diangkat dalam laporan The Guardian, muncul kekhawatiran baru tentang kemunculan virus Nipah.

Disebutkan dari sebuah hasil studi independen menyebut bahwa tidak ada satupun perusahaan farmasi besar di dunia yang siap jika terjadi pandemi berikutnya.

Jayasree K. Iyer, direktur eksekutif Access to Medicine Foundation, sebuah nirlaba yang berbasis di Belanda, menyoroti wabah virus Nipah yang terjadi di Cina, dengan tingkat kematian hingga 75 persen, dan berpotensi menjadi risiko pandemi besar berikutnya.

Baca Juga: Syiva Selebgram Jakarta Pakai Narkoba Jenis Baru Yang Sangat Mematikan, Diciduk Polisi di Bali

“Virus Nipah adalah penyakit menular lain yang muncul dan menimbulkan kekhawatiran besar. Nipah bisa meledak kapan saja. Pandemi berikutnya bisa jadi infeksi yang resistan terhadap obat," kata dia seperti yang dikutip indobalinews.com dari Antaranews.com Rabu 27 Januari 2021.

Virus Nipah masuk dalam daftar salah satu dari 10 penyakit menular dari 16 penyakit yang diidentifikasi oleh WHO sebagai risiko kesehatan terbesar masyarakat.

Daftar ini bersama dengan Mers dan Sars, penyakit pernapasan yang disebabkan oleh virus corona dan memiliki tingkat kematian yang jauh lebih tinggi daripada COVID-19 tetapi tidak terlalu menular.

Baca Juga: Kisah Viral Pasangan Dokter Sultan, Punya 25 ART Salah Satunya Khusus Beli Galon

Kelelawar buah dituding menjadi inang alami dari virus yang memiliki angka kematian 40 persen hingga 75 persen tersebut, tergantung di mana wabah itu terjadi.

Ada beberapa alasan mengapa virus Nipah begitu menyeramkan. Masa inkubasi penyakit yang lama yang dilaporkan bisa mencapai 45 hari dalam satu kasus, dapat memberikan banyak kesempatan bagi inang yang terinfeksi.

Bahkan mereka yang tidak sadar tengah tertular, untuk menyebarkannya. Virus ini juga dapat menginfeksi berbagai macam hewan, membuat kemungkinan penyebarannya lebih mungkin terjadi.

Penularan virus ini juga bisa melalui kontak langsung atau dengan mengonsumsi makanan yang terkontaminasi.

Baca Juga: Warga Buleleng Bali Hilang di Laut Saat Spear Fishing

Seseorang dengan virus Nipah mungkin akan mengalami gejala pernapasan termasuk batuk, sakit tenggorokan, kelelahan, dan ensefalitis, pembengkakan otak yang dapat menyebabkan kejang hingga kematian.

Bangladesh dan India merupakan dua negara yang pernah mengalami wabah virus Nipah di masa lalu, yang kemungkinan penyebabnya terkait dengan konsumsi jus kurma.

Pada malam hari, kelelawar yang terinfeksi akan terbang ke perkebunan kurma dan mengambil sari buahnya saat keluar dari pohon. Kelelawar tersebut kemungkinan buang air kecil di pot penampung.

Penduduk yang tidak tahu akan membelinya pada hari berikutnya dari pedagang kaki lima setempat, meminumnya dan terinfeksi penyakit tersebut.

Baca Juga: Mas Menteri Sandiaga Uno Segera Pindah Kantor Ke Bali

Dari 11 wabah virus Nipah di Bangladesh dari tahun 2001 hingga 2011, tercatat ada 196 orang terdeteksi dengan 150 jiwa di antaranya meninggal dunia.

Veasna Duong, kepala unit virologi di laboratorium penelitian ilmiah Institut Pasteur Phnom Penh, Kamboja, mengatakan bahwa jus kurma juga sangat populer di negaranya.

Duong dan timnya telah menemukan bahwa kelelawar buah di Kamboja dapat terbang jauh - hingga 100 km setiap malam - untuk mencari buah.

Itu berarti penduduk di wilayah tersebut perlu khawatir, tidak hanya tentang terlalu dekat dengan kelelawar, tetapi juga khawatir mengonsumsi produk yang mungkin telah terkontaminasi oleh kelelawar yang terinfeksi virus Nipah.

Baca Juga: Calista Bocah Penderita Tumor Asal NTT Berjuang Meraih Kesembuhan di Bali

 

 

Kelelawar buah cenderung hidup di kawasan hutan lebat dengan banyak banyak pohon buah-buahan untuk mereka makan. Saat habitat mereka dihancurkan atau dirusak, mereka menemukan solusi baru - seperti bertengger di rumah, ataupun di menara seperti yang terjadi di Angkor Wat.

"Perusakan habitat kelelawar dan gangguan manusia melalui perburuan mendorong mereka untuk mencari tempat bertengger alternatif," ujar Duong.

Namun haruskah kita membasmi kelelawar tersebut? Tidak, kecuali kita ingin memperburuk keadaan, kata Tracey Goldstein, direktur laboratorium One Health Institute dan direktur lab Predict Project.

Dia mengatakan bahwa kelelawar memiliki peranan ekologis yang sangat penting. Mereka menyerbuki lebih dari 500 spesies tanaman. Mereka juga membantu mengendalikan serangga - memainkan peran yang sangat penting dalam pengendalian penyakit pada manusia, misalnya, mengurangi malaria dengan memakan nyamuk, kata Goldstein.

Baca Juga: Pembunuh WNA Slovakia di Bali Ternyata Mantan Pacar Yang Marah Diusir Pakai Sapu

Dia juga menunjukkan bahwa pemusnahan kelelawar telah terbukti merugikan dari perspektif penyakit dan bagi manusia. "Itu akan membuat (manusia) lebih rentan. Dengan membunuh hewan, Anda meningkatkan risiko, karena Anda meningkatkan jumlah hewan yang menyebarkan virus," kata Goldstein.

Oleh karena itu, para peneliti dan pemerintah di seluruh dunia pun sepakat bahwa virus Nipah sangat berbahaya - memiliki potensi ancaman bioterorisme - dan hanya segelintir laboratorium di seluruh dunia yang diizinkan untuk membudidayakan, menumbuhkan dan menyimpannya.***

Editor: Shira Ade

Sumber: The Guardian Antaranews.com

Tags

Terkini

Terpopuler